19 Desember, tanggal ini belakangan sering disebut-sebut di kalangan finansial. Pasar sedang fokus pada satu hal—apakah Jepang benar-benar akan menaikkan suku bunga?
Sejujurnya, ekspektasi ini sudah mulai mengguncang pasar. Yen menguat, obligasi dan saham Jepang turun, tapi yang benar-benar membuat orang khawatir bukanlah gejolak di dalam negeri Jepang, melainkan masalah yang lebih dalam: jika yen benar-benar naik suku bunga, akankah itu memicu badai keuangan global?
Kedengarannya memang seperti menakut-nakuti, tapi untuk menjelaskan kenapa semua orang begitu tegang, kita harus melihat dua peristiwa lama beberapa dekade lalu.
**Apa yang dialami Jepang saat itu?**
Seberapa hebat Jepang di era 80-an? Waktu itu ada ungkapan "Jepang akan membeli Amerika." Lalu dua pukulan berat datang: pertama, AS memaksa menandatangani Plaza Accord, yen melonjak tajam dalam waktu singkat; ekspor langsung anjlok, Bank Sentral Jepang hanya bisa memangkas suku bunga habis-habisan untuk menyelamatkan pasar, hasilnya harga properti melambung tinggi, akhirnya harus mendadak menaikkan suku bunga—gelembung pun pecah.
Sejak tahun 90-an, Jepang terjerumus ke dalam "30 tahun yang hilang." Total GDP? Sekitar US$5 triliun, stagnan, tidak tumbuh. Di balik itu ada dua hal:
Pertama, setelah properti runtuh, enam konglomerat besar Jepang melakukan cross-shareholding, beban utang buruk diselesaikan secara internal. Risikonya tidak dibersihkan, tapi dipikul bersama-sama.
Kedua, ekonomi lesu dalam waktu lama, Bank Sentral Jepang gencar menerbitkan obligasi pemerintah, suku bunga ditekan ke nol, bahkan minus. Uang di dalam negeri tidak punya jalan keluar? Ya, keluar negeri. Modal dan industri besar-besaran ekspansi ke luar negeri.
**"Permainan arbitrase" yang dipicu suku bunga nol**
Di sinilah muncul fenomena unik: karena biaya pinjaman yen hampir nol, bahkan terus melemah, dana global mulai bermain arbitrase—meminjam yen berbunga nol, ditukar ke dolar AS yang berbunga tinggi, atau belasan tahun lalu diinvestasikan ke pasar Tiongkok yang bertumbuh pesat.
Logika inti permainan ini? Dua taruhan: 1. Bank Sentral Jepang akan selalu mempertahankan suku bunga nol 2. Yen akan terus melemah
Selama dua syarat ini terpenuhi, arbitrase jadi bisnis tanpa risiko kalah.
Bagaimana cara meminjam yen? Tidak mungkin muncul begitu saja. Cara biasa adalah menggunakan obligasi pemerintah Jepang sebagai agunan, pinjam-meminjam berulang, tambah leverage, hingga dana membengkak. Ini persis seperti cara main di pasar keuangan AS—pakai US Treasury sebagai agunan, tambah leverage, lalu spekulasi di saham AS.
**Apa yang paling ditakuti?**
Fluktuasi harga obligasi pemerintah yang besar.
Begitu harga obligasi jatuh di bawah batas tertentu, agunan harus ditambah. Jika leverage sudah tinggi, satu-satunya jalan adalah deleveraging—bagaimana caranya? Jual aset untuk dapat likuiditas. Saham, obligasi, aset likuid lain, apa saja yang bisa dijual lebih dulu.
Faktor yang paling langsung memengaruhi harga obligasi negara adalah penyesuaian suku bunga oleh bank sentral.
Jadi sekarang paham, kan? Kenapa pasar begitu sensitif terhadap kenaikan suku bunga Jepang? Karena sekali suku bunga naik, harga obligasi pemerintah Jepang akan jatuh, imbal hasil 10 tahunnya naik, ini berpotensi memicu pemaksaan deleveraging di pasar pembiayaan yen dan arbitrase internasional.
Begitu deleveraging dimulai, pasar keuangan global bisa dilanda gelombang jual besar-besaran, lalu memicu badai keuangan global.
**Seberapa besar skalanya?**
Kalau dana yang terlibat kecil, mungkin tidak masalah. Masalahnya, skala permainannya terlalu besar.
Pasar obligasi pemerintah Jepang sekitar US$7,5 triliun, setara 150% GDP Jepang. Diperkirakan, skala transaksi arbitrase internasional berbasis yen mencapai US$3 sampai US$4 triliun.
Apa artinya ini? Bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
**Di mana garis merahnya?**
Faktor kunci kedua adalah seberapa tinggi imbal hasil obligasi pemerintah Jepang bertenor 10 tahun, ini langsung menentukan skala deleveraging.
Saat ini, imbal hasil obligasi pemerintah Jepang 10 tahun sudah menembus 1,9%, tertinggi sejak Juli 2007. Pasar umumnya menganggap Bank Sentral Jepang menetapkan batas merah di 2%.
Sekarang, jaraknya tinggal selangkah lagi.
Jika harga obligasi pemerintah Jepang 10 tahun jatuh di bawah 98, pasar keuangan global sangat mungkin mengalami gelombang jual. Risiko ini nyata.
**Apa yang akan terjadi selanjutnya?**
Untuk saat ini, jika ekspektasi kenaikan suku bunga yen dalam jangka panjang tidak semakin memanas, risiko deleveraging jangka pendek masih bisa dikendalikan. Tapi kalau ekspektasi kenaikan suku bunga terus berkembang, situasinya bisa berubah.
Jelas ini juga terkait dengan dinamika internal Jepang. Misalnya, Sanae Takaichi sebelumnya secara tegas menolak kenaikan suku bunga. Jadi hasil akhirnya, mungkin juga tergantung pada sikap Amerika Serikat.
Lihat Asli
Halaman ini mungkin berisi konten pihak ketiga, yang disediakan untuk tujuan informasi saja (bukan pernyataan/jaminan) dan tidak boleh dianggap sebagai dukungan terhadap pandangannya oleh Gate, atau sebagai nasihat keuangan atau profesional. Lihat Penafian untuk detailnya.
10 Suka
Hadiah
10
6
Posting ulang
Bagikan
Komentar
0/400
AirdropDreamBreaker
· 18jam yang lalu
Astaga, arbitrase sebesar 3-4 triliun, kalau benar-benar meledak, seluruh dunia bisa ikut hancur.
Lihat AsliBalas0
CommunityLurker
· 12-05 18:52
Gila, ada leverage sebesar 3-4 triliun yang menggantung di atas kepala, ini benar-benar bom waktu.
Lihat AsliBalas0
NftDeepBreather
· 12-05 18:51
Jepang mau bikin ulah lagi? Setiap kali selalu begini, memanfaatkan yen dengan suku bunga nol untuk arbitrase, sekarang saatnya membayar utang, kan.
Lihat AsliBalas0
PumpDoctrine
· 12-05 18:46
Gila, bom arbitrase senilai 3-4 triliun dolar AS? Kalau benar-benar meledak, kita semua bisa ikut hancur!
Lihat AsliBalas0
CryingOldWallet
· 12-05 18:40
Sial, kalau kali ini benar-benar naik suku bunga, bakal langsung limit down seluruh dunia, 3-4 triliun dolar AS leverage kalau dilepas, nggak ada yang bisa lolos.
Lihat AsliBalas0
GasFeeBarbecue
· 12-05 18:35
Sialan, Jepang benar-benar berani menaikkan suku bunga, keuangan global bakal ikut hancur bareng-bareng.
19 Desember, tanggal ini belakangan sering disebut-sebut di kalangan finansial. Pasar sedang fokus pada satu hal—apakah Jepang benar-benar akan menaikkan suku bunga?
Sejujurnya, ekspektasi ini sudah mulai mengguncang pasar. Yen menguat, obligasi dan saham Jepang turun, tapi yang benar-benar membuat orang khawatir bukanlah gejolak di dalam negeri Jepang, melainkan masalah yang lebih dalam: jika yen benar-benar naik suku bunga, akankah itu memicu badai keuangan global?
Kedengarannya memang seperti menakut-nakuti, tapi untuk menjelaskan kenapa semua orang begitu tegang, kita harus melihat dua peristiwa lama beberapa dekade lalu.
**Apa yang dialami Jepang saat itu?**
Seberapa hebat Jepang di era 80-an? Waktu itu ada ungkapan "Jepang akan membeli Amerika." Lalu dua pukulan berat datang: pertama, AS memaksa menandatangani Plaza Accord, yen melonjak tajam dalam waktu singkat; ekspor langsung anjlok, Bank Sentral Jepang hanya bisa memangkas suku bunga habis-habisan untuk menyelamatkan pasar, hasilnya harga properti melambung tinggi, akhirnya harus mendadak menaikkan suku bunga—gelembung pun pecah.
Sejak tahun 90-an, Jepang terjerumus ke dalam "30 tahun yang hilang." Total GDP? Sekitar US$5 triliun, stagnan, tidak tumbuh. Di balik itu ada dua hal:
Pertama, setelah properti runtuh, enam konglomerat besar Jepang melakukan cross-shareholding, beban utang buruk diselesaikan secara internal. Risikonya tidak dibersihkan, tapi dipikul bersama-sama.
Kedua, ekonomi lesu dalam waktu lama, Bank Sentral Jepang gencar menerbitkan obligasi pemerintah, suku bunga ditekan ke nol, bahkan minus. Uang di dalam negeri tidak punya jalan keluar? Ya, keluar negeri. Modal dan industri besar-besaran ekspansi ke luar negeri.
**"Permainan arbitrase" yang dipicu suku bunga nol**
Di sinilah muncul fenomena unik: karena biaya pinjaman yen hampir nol, bahkan terus melemah, dana global mulai bermain arbitrase—meminjam yen berbunga nol, ditukar ke dolar AS yang berbunga tinggi, atau belasan tahun lalu diinvestasikan ke pasar Tiongkok yang bertumbuh pesat.
Logika inti permainan ini? Dua taruhan:
1. Bank Sentral Jepang akan selalu mempertahankan suku bunga nol
2. Yen akan terus melemah
Selama dua syarat ini terpenuhi, arbitrase jadi bisnis tanpa risiko kalah.
Bagaimana cara meminjam yen? Tidak mungkin muncul begitu saja. Cara biasa adalah menggunakan obligasi pemerintah Jepang sebagai agunan, pinjam-meminjam berulang, tambah leverage, hingga dana membengkak. Ini persis seperti cara main di pasar keuangan AS—pakai US Treasury sebagai agunan, tambah leverage, lalu spekulasi di saham AS.
**Apa yang paling ditakuti?**
Fluktuasi harga obligasi pemerintah yang besar.
Begitu harga obligasi jatuh di bawah batas tertentu, agunan harus ditambah. Jika leverage sudah tinggi, satu-satunya jalan adalah deleveraging—bagaimana caranya? Jual aset untuk dapat likuiditas. Saham, obligasi, aset likuid lain, apa saja yang bisa dijual lebih dulu.
Faktor yang paling langsung memengaruhi harga obligasi negara adalah penyesuaian suku bunga oleh bank sentral.
Jadi sekarang paham, kan? Kenapa pasar begitu sensitif terhadap kenaikan suku bunga Jepang? Karena sekali suku bunga naik, harga obligasi pemerintah Jepang akan jatuh, imbal hasil 10 tahunnya naik, ini berpotensi memicu pemaksaan deleveraging di pasar pembiayaan yen dan arbitrase internasional.
Begitu deleveraging dimulai, pasar keuangan global bisa dilanda gelombang jual besar-besaran, lalu memicu badai keuangan global.
**Seberapa besar skalanya?**
Kalau dana yang terlibat kecil, mungkin tidak masalah. Masalahnya, skala permainannya terlalu besar.
Pasar obligasi pemerintah Jepang sekitar US$7,5 triliun, setara 150% GDP Jepang. Diperkirakan, skala transaksi arbitrase internasional berbasis yen mencapai US$3 sampai US$4 triliun.
Apa artinya ini? Bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
**Di mana garis merahnya?**
Faktor kunci kedua adalah seberapa tinggi imbal hasil obligasi pemerintah Jepang bertenor 10 tahun, ini langsung menentukan skala deleveraging.
Saat ini, imbal hasil obligasi pemerintah Jepang 10 tahun sudah menembus 1,9%, tertinggi sejak Juli 2007. Pasar umumnya menganggap Bank Sentral Jepang menetapkan batas merah di 2%.
Sekarang, jaraknya tinggal selangkah lagi.
Jika harga obligasi pemerintah Jepang 10 tahun jatuh di bawah 98, pasar keuangan global sangat mungkin mengalami gelombang jual. Risiko ini nyata.
**Apa yang akan terjadi selanjutnya?**
Untuk saat ini, jika ekspektasi kenaikan suku bunga yen dalam jangka panjang tidak semakin memanas, risiko deleveraging jangka pendek masih bisa dikendalikan. Tapi kalau ekspektasi kenaikan suku bunga terus berkembang, situasinya bisa berubah.
Jelas ini juga terkait dengan dinamika internal Jepang. Misalnya, Sanae Takaichi sebelumnya secara tegas menolak kenaikan suku bunga. Jadi hasil akhirnya, mungkin juga tergantung pada sikap Amerika Serikat.